SEMARANG - Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Tengah dan Polres di wilayahnya berhasil mengungkap 26 kasus perdagangan orang selama enam bulan terakhir sejak tahun 2023. Dalam rentang waktu tersebut, sebanyak 1.305 warga Jawa Tengah menjadi korban, di mana 1.137 orang telah diberangkatkan ke luar negeri dan 168 orang lainnya belum diberangkatkan. Polda Jawa Tengah dan jajaran telah menerima 12 laporan polisi terkait kejahatan ini dalam seminggu terakhir.
Kepala Satgas Pemberantasan Perdagangan Orang (TPPO) Polda Jawa Tengah, Brigjen Pol. Abioso Seno Aji, menjelaskan bahwa proses pemberangkatan korban sering melanggar aturan, terutama terkait visa dan paspor yang tidak sesuai.
"Beberapa
di antaranya dikirim dengan dalih pariwisata, namun setelah tiba di
sana, mereka kemudian dipaksa untuk bekerja," ungkap Abi yang juga
menjabat sebagai Wakapolda Jawa Tengah dalam konferensi pers di Mapolda
Jawa Tengah, Kota Semarang, pada Senin (12/6).
Dari total 26
kasus yang terungkap, sebanyak 33 tersangka telah ditangkap, terdiri
dari 10 orang dari pihak perusahaan dan 23 orang lainnya merupakan
perorangan. Tersangka yang merupakan pihak perusahaan umumnya tidak
memiliki Surat Izin Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI) yang
dikeluarkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan, serta Surat Izin
Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK) yang dikeluarkan oleh
Kementerian Perhubungan.
Sementara itu, tersangka perorangan
biasanya telah bekerja di luar negeri sebelumnya dan merekrut orang lain
di Indonesia untuk ikut bekerja di sana, seperti menjadi anak buah
kapal (ABK) asing.
Kasus-kasus yang terungkap di Jawa Tengah
tersebar di berbagai daerah, antara lain Magelang, Kabupaten Demak,
Kabupaten Jepara, Kabupaten Brebes, Kabupaten Semarang, Kabupaten
Pemalang, Kabupaten Batang, Kabupaten Pati, Kabupaten Kebumen, Kabupaten
Banyumas, Kabupaten Tegal, dan Kabupaten Banjarnegara.
"Motif
para tersangka ini dapat dikatakan serupa, yaitu mencari keuntungan
pribadi dari kegiatan pengiriman orang ke luar negeri secara ilegal,"
lanjutnya.
Proses pemberangkatan korban dilakukan melalui
berbagai cara, antara lain melalui bandara domestik dari Jawa Tengah
menuju Jakarta, kemudian melanjutkan penerbangan internasional dari
Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Banten. Ada juga yang menggunakan
jalur laut setelah melakukan penerbangan domestik menuju Batam untuk
menyeberang ke Malaysia.
Bukan hanya negara-negara Asia, kasus TPPO ini juga mencakup negara-negara di Eropa dan Amerika
Juga
menjadi tujuan dari kejahatan ini. Saat ini, dari total 1.137 korban
TPPO, menurut Brigjen Abi, mereka masih berada di negara tujuan
masing-masing.
"Kami
berkoordinasi dengan Interpol melalui Divisi Hubungan Internasional
(Hubinter Polri) untuk langkah selanjutnya," tambah Wakasatgas TPPO
Polda Jateng, Kombes Pol Johanson Simamora, yang juga menjabat sebagai
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Tengah.
Para
tersangka, berdasarkan pemeriksaan awal, telah memperoleh keuntungan
total sekitar Rp2,5 miliar. Sedangkan para korban masing-masing
mengalami kerugian sekitar Rp5,3 miliar.
Salah satu tersangka
dengan inisial S mengaku pernah bekerja sebagai ABK di Taiwan. Ia
kemudian merekrut beberapa temannya untuk bekerja di tempat yang sama.
"Saya bekerja sebagai ABK tiga tahun yang lalu," kata S di Mapolda Jawa
Tengah.
Polisi telah menyita berbagai barang bukti dari
kejahatan ini, termasuk dokumen dari Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi,
dan Kependudukan Jawa Tengah, berbagai paspor, tiket pesawat
internasional seperti dari Surabaya ke Johor Bahru, Malaysia, serta
berbagai cap stempel.
Dari salah satu tiket pesawat yang menjadi
barang bukti penerbangan Surabaya ke Johor Bahru, terungkap bahwa
seharusnya penerbangan itu berlangsung pada hari ini menggunakan Pesawat
Air Asia QZ 392, dengan jadwal keberangkatan pukul 15.30 WIB dari
Terminal 2 Bandara Juanda Surabaya dan tiba di tujuan pada pukul 18.45
di Senai International Airport, Johor Bahru, Malaysia.
Salah
satu modus operandi lain yang terungkap adalah pemalsuan cap stempel
perpanjangan visa oleh tersangka kepada orang-orang yang direkrutnya.
Dengan demikian, ketika dilakukan pemeriksaan rutin di imigrasi, mereka
seolah-olah telah memperpanjang visa untuk keperluan pariwisata.
"Kami mengimbau agar masyarakat tidak mudah percaya dengan janji-janji atau rayuan gaji besar," tegas Brigjen Abioso.
Kepala
Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3PMI) Jawa
Tengah, Pujiono, mengungkapkan bahwa rata-rata para korban tergiur
dengan gaji besar, meskipun pendidikan mereka rendah. "Di Korea Selatan,
misalnya, dalam sektor manufaktur atau perikanan, gajinya bisa mencapai
Rp23 juta. Sementara di Indonesia dengan pendidikan rendah, gaji tidak
sebesar itu," tambah Pujiono di Mapolda Jawa Tengah.
Pihaknya berharap masalah TPPO ini dapat dicegah dan diungkap melalui kerjasama dan sinergi antara para pemangku kepentingan terkait.